Seperti halnya bangunan sekolah disuatu desa yang hanya beratapkan daun rumbia dan tanpa sarana meja dan kursi sehingga para siswa terpaksa harus belajar sambil bertiarap dan berdesakan juga kondisi beberapa materialnya sudah lapuk, dan juga masalah besar penyebab rendahnya pendidikan adalah susahnya akses jalan yang menyebabkan siswa harus berjalan berkilo-kilo dan mempertaruhkan nyawa dengan melintasi sungai hanya menggunakan seutas kawat baja untuk mencapai sekolah. Oleh karena itu masalah pendidikan di daerah pedesaan menarik untuk dibahas.
Pendidikan yang ideal menurut Badan
Standar Nasional Pendidikan adalah harus memiliki sarana prabot,
pralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya.
Namun dalam keadaan real dimasyarakat pedesaan, hal ini masih belum bisa
dicapai tanpa diketahui sebab pastinya, padahal pemerintah telah
menganggarkan sekurang-kurangnya 20% dari APBD dan APBN untuk keperluan
atau kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Seharusnya
Pemerintah bersangkutan lebih berperan aktif dalam penyelenggaran
pendidikan di setiap wilayah di suatu negara, bukan hanya pada daerah
kota-kota besar saja namun juga aktif dalam penyelenggaraan pendidikan
di wilayah pedesaan.
Daerah pedesaan sebenarnya memiliki
potensi sumber daya yang besar untuk dieksplor, namun karena kurangnya
kesadaran akan pentingnya pendidikan, maka perkembangan pendidikan akan
terhambat, hal ini benar-benar terjadi disekitar kita contohnya terjadi
di Desa Kambang Kuning, Haruai, Tabalong. Mereka menjalankan kegiatan
belajar di bekas ruangan WC selama kurang lebih 4 tahun terakhir ini.
Kondisi itu sangatlah ironis karena terjadi di Sekolah yang lokasinya
hanya sekitar 25 kilometer dari Ibu Kota Tabalong Tanjung.
Apalagi, Tabalong adalah salah satu
kabupaten yang kaya sumber daya alam (SDA) dan hasil perkebunan. Banyak
perusahaan dari skala lokal, nasional hingga internasional yang mengais
rezeki di kabupaten tersebut. Tetapi seperti itulah yang terjadi di SDN
2, Desa Kembang Kuning, Haruai. Jika sepintas dilihat dari luar,
bangunan sekolah yang terletak sekitar 10 kilometer dari pusat kecamatan
tersebut masih bagus karena terbuat dari beton dengan cat yang belum
kusam. Akan tetapi sudah bertahun-tahun proses belajar mengajar di
sekolah tersebut juga menggunakan ruangan yang semula digunakan untuk
Toilet atau WC rumah dinas guru sebagai ruang kelas. Hal itu tepaksa
diakukan karena usulan untuk menambah ruang yang diajukan pengelola
sekolah, belum juga ada tindak lanjutnya. Saat ini, sekolah tersebut
memiliki 232 murid. Sementara ruang kelas hanya enam unit plus satu
ruang untuk para guru. Kebutuhan ruang kelas bagi murid-murid dari kelas
I sampai IV sebanyak delapan unit. Perinncian-nya, kelas I, IV, dan VI
masing-masing satu ruang serta kelas II dan III masing-masing dua ruang.
Karena ruang yang tersedia hanya enam unit, maka dua ruang lain yang
digunakan untuk proses belajar mengajar murid kelas IIB dan IIIB
menggunakan dua rumah dinas guru yang berberntuk kopel.
Sementara ruang kelas WC digunakan
untuk pelajaran agama secara bergiliran bagi semua kelas. Diperkirakan
ukuran ruang kelas bekas WC itu adalah empat kalin tiga meter. Sementara
ruang dri rumah dinas, masing-masing berukuran 4X6 meter. Berdasarkan
pantauan, jumlah murid yang berkelas dirumah dinas hanya 18 orang.
Antara meja guru dan murid tidak berjarak. Itu pun banyak yang dalam
kondisi rusak. Kaca jendela juga ada yang pecah parahnya lagi, bila
hujan turun lebat, lantai yang tidak berkeramik akan terendam air.
Sekolah Dasar Negeri (SDN) SDN 2
Kembang Kuning, Tabalong yang menjadikan bekas ruang toilet dan rumah
dinas memperlihatkan bahwa pemerintah daerah (pemda) setempat lupa.
Sekolah yang memerlukan bantuan telah terlewatkan. Sebab, biasanya
selalu ada perencanaan untuk pembangunan di setiap tahun. Tentunya di
dukung data-data yang valid. Artinya, semua sekolah terdata. Sebenernya
anggaran yang diperlukan juga tidak terlalu besar, hanya dua kelas.
Kondisi itu juga memperlihatkan bahwa rencana perbaikan sekolah tidak
terprogram secara baik-baik oleh pemvrop, pemko, atau pemkab.
Biasanya dan seharusnya, pemda
memiliki blue print, berupa pemetaan. Khusus untuk Disdik, berupa
pemetaan pendidikan. Dengan pemetaan itu bisa tergambarkan
sekolah-sekolah yang “tidak wajar” yang harus diperkuat melalui cara
rehabilitasi. Melihat kenyataan itu, pemetaan yang dilakukan dipastikan
kurang tajam. Meski jarak dengan pusat kota hanya sekitar 25 kilometer.
Tabalong adalah wilayah yang kaya
sumber daya. Terdapat perusahaan tambang berskala besar. Seharusnya, hal
ini tidak terjadi lagi. Karena CSR (corporate social responsibility)
dari perusahaan-perusahaan itu pasti dapat digunakan untuk membangun
daerah.
Pemkab seharusnya berinisiatif untuk
menyalurkan bantuan melalui CSR agar bisa dilakukan sesegera mungkin.
Karena jika melalui jalur APBD, sudah menjadi rahasia umum harus
menunggu pencairan anggaran. Ini memerlukan waktu. Jika menggunakan APBD
perubahan tentu harus menunggu pula hingga pertengahan 2015. Bisa-bisa
bangunannya baru selesai akhir 2015.
Sebagian besar anak-anak yang tinggal
di pedesaan dewasa ini sudah mulai menyadari tentang pentingnya
pendidikan, namun ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat desa
belum mampu mengenyam pendidikan dengan layak, di antaranya pengaruh
dari lingkungan keluarga yang tidak mendukung akan semangat belajar
mereka, karena kebanyakan orang tua di desa beranggapan bahwa lebih baik
meneteskan peluh diladang daripada duduk seharian di bangku sekolah.
Faktor lain yang menyebabkan susahnya anak-anak mengenyam pendidikan
adalah ketiadaanya bangunan sekolah yang mudah mereka jangkau dan juga
termaksud akses menuju sekolah yang sulit, sehingga semangat untuk
belajar yang dimiliki anak-anak di desa tidak dapat tersalurkan.
Dari pembahasan dapat ditarik
kesimpulan bahwa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan di
daerah pedesaan adalah karena kurangnya kesadaran para penduduk desa
yang beranggapan bahwa kemampuan bekerjalah yang lebih penting dari
kemampuan intelektual. Selain faktor tersebut, faktor lainnya yang
menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan di pedesaan adalah karena
kurang meratanya pelaksanaan pendidikan, Hal ini dapat dilihat pada
kasus yang terjadi di Desa Kembang Kuning, Tabalong, di mana ada sekolah
yang menggunakan bangunan bekas WC sebagai ruang kelas untuk
pelaksanaan proses belajar mengajar. Dapat dilihat dengan jelas
kesenjangan yang terjadi antara pendidikan dikota-kota besar dengan
pendidikan yang ada diwilayah pendidikan. Di daerah pedesaan sarana
prasarana pendidikan yang ada bisa dikatakan jauh dari kata layak dan
juga akses untuk menempuh pendidikan sangat menyulitkan bagi pelajar
dipedesaan.
Sebenarnya semangat untuk menuntut
ilmu telah dimiliki oleh anak-anak di pedesaan, namun sayangnya hal itu
tidak didukung oleh faktor lingkungan keluarga yang masih beranggapan
bahwa pendidikan tidak lebih penting daripada kemampuan bekerja
diladang. Faktor lain yang memupuskan harapan anak-anak pedesaan untuk
belajar adalah kurangnya sarana prasarana pendukung proses pendidikan.
Sumber :
http://delvinreynaldi.blogspot.co.id/2016/06/minimnya-pendidikan-di-daerah-terpencil.html
No comments:
Post a Comment